Fungsi
Teori dalam Konseling
1.
Konseling sebagai ilmu terapan
Ilmu atau ilmu pengetahuan
merupakan sejumlah atau sekumpulan pengetahuan yang disusun secara logis dan
sistematik, dan dapat diandalkan dalam menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol
gejala-gejala alam atau tingkah laku guna memperbaiki kualitas hidup manusia
dan masyarakat. Sedangkan pengetahuan adalah suatu yang diketahui berdasarkan
pengindraan dan pengolahan daya pikir. Pengetahuan secara umum juga dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengetahuan sederhana berupa pengetahuan
faktual yang didapat dari pengalaman hidup sehari-hari atau berdasar akal
sehat, serta pengetahuan teoritis berupa teori, hokum, prinsip, dan konsep yang
telah diuji ketepatannya dengan fakta melalui kegiatan penelitian. Ilmu yang
dianggap maju memuat susunan teori-teori tersebut.
Berdasar uraian di atas, dapat
ditafsirkan bahwa konseling adalah suatu ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu,
karena didalamnya sudah berisi berbagai pengetahuan tentang teori-teori bantuan
yang disusun secara logis dan sistematis dalam rangka menjelaskan, meramalkan, mengontrol
gejala-gejala tingkah laku memperbaiki kualitas hidup manusia. Seperti
ditunjukkan dengan berbagai paparan hasil penelitian, buku teks, maupun
karya-karya ilmiah yang sudah tersebar luas di masyarakat.
Secara umum suatu dianggap
sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri apabila memiliki obyek formal,
metode, dan disusun secara sistematis, dan konseling sudah memenuhi persyaratan
itu semua. Obyek material konseling adalah manusia dengan segenap perilakunya,
sedangkan obyek formalnya adalah upaya bantuan kepada individu yang mengacu
pada fungsi layanan yang diberikan, yaitu pengentasan dan pengembangan sehingga
memperoleh kualitas kehidupan yang lebih baik. Sedangkan hal-hal yang terkait
dengan upaya bantuan tersebut, seperti latar belakang, karakteristik individu,
jenis, kondisi yang diperlukan, maupun kemungkinan hasilnya telah dikaji secara
luas dan mendalam, termasuk seluk beluk dan keterkaitannya antara yang satu
dengan yang lain, serta telah ditata secara logis dan sistematis menjadi
paparan ilmu.
Sedangkan metode yang
dikembangkan dalam konseling untuk mengungkap obyek-obyek kajiannya telah
disusun berdasar teori-teori tertentu yang sudah mapan dan melalui berbagai
pendekatan dan tindakan-tindakan berdasar kaidah keilmuan, sehingga dapat digunakan
secara ilmiah untuk menafsirkan dan memberi makna secara logis dan sistematis
berdasar penalaran dan kaidah-kaidah keilmuan yang selaras dan mapan.
Konseling
adalah ilmu yang bersifat multireferensial, karena mengunakan dan memanfaatkan
rujukan atau sumbangan dari berbagai ilmu yang lain. Sumbangan tersebut tidak
terbatas pada pembentukan dan pengembangan teori-teopri konseling, tetapi juga
pada praktek pelayanannya.
Gibson dan Mitchell dan Mitchell
(1995) menegaskan bahwa untuk membahas konseling sebagai ilmu, dapat dilakukan
secara tepat melalui penggalian tentang “akar” dan munculnya konseling sebagai
suatu profesi. Dijelaskan bahwa fundasi yang melahirkan konseling adalah bidang
psikologi, sehingga lapangan psikologi telah banyak berkontribusi dalam
membangun teori dan proses konseling, standarisasi assesmen, teknik konseling
kelompok dan individual, serta teori perkembangan karir dan pengambilan
keputusan. Secara khusus bidang psikologi tersebut mencakup: (1) psikologi
pendidikan (teori belajar, tumbuh kembang anak, dan implikasinya dalam setting
pendidikan, (2) Psikologi sosial, untuk membantu pemahaman tentang pengaruh
situasi sosial pada individu, termasuk pengaruh lingkungan pada erilaku, (3)
psikologi ekologis, berkaitan dengan studi tentang keterkaitan dan pengaruh
timbal balik antara individu dan lingkungan terhadap suatu perilaku, (4)
psikologi perkembangan, yang membantu dalampemahaman mengapa dan bagaimana
perkembangan individu dan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang kehidupan.
Disamping mendapat sumbangan dari
bidang psikologi, ilmu konseling juga mendapat kontribusi dari bidang ilmu yang
lainnya, seperti sosiologi (untuk pemahaman kelompok manusia dan pengaruhnya
terhadap perilaku manusia), antropologi (untuk pemahaman pengaruh timbal balik
kebudayaan dan perilaku manusia), biologi (untuk pemahaman organisme manusia
dan keunikannya, maupun teknologi (seperti pemanfaatan komputer dalam penataan
menejemen konseling, dsb).
Telah disingung sebelumnya bahwa
obyek formal dari ilmu konseling adalah upaya bantuan kepada individu yang
mengacu pada fungsi layanan yang diberikan, yaitu pengentasan dan pengembangan
sehingga memperoleh kualitas kehidupan yang lebih baik, sehingga sesuai dengan
karakteristik dan kedudukannya diangkat sebagai suatu profesi bantuan. Yaitu
suatu profesi dengan tugas khusus membantu pencapaian perkembangan pribadi
individu secara optimal, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan
pendidikan, dilakukan untuk mendukung upaya pencapaian tujuan pendidikan secara
keseluruhan, serta terkait dengan urusan kemanusiaan. Hal ini berarti bahwa
kedudukan konseling adalah juga sebagai ilmu terapan (aplied science)
A.
Konseling
Psikoanalisa
Tokoh paling terkenal dari teori
psikoanalisa ini adalah Sigmund Freud. Psikoanalisa dapat dipandang sebagai
teori kepribadian ataupun metode psikoterapi. Sigmund Freud lahir tanggal 6 Mei
1856 di Morovia dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939.
Sebagian besar hidup Freud diabdikan untuk memformulasikan dan mengembangkan
tentang teori psikoanalisisnya. Pada umur paruh pertama empat puluhan ia banyak
mengalami bermacam penyakit mental, seperti rasa nyeri akan datangnya maut dan
phobi-phobi lain. Dengan mengeksplorasi makna mimpi-mimpinya sendiri ia
mendapat pemahaman tentang dinamika perkembangan kepribadian seseorang.
Sigmund Freud dikenal juga
sebagai tokoh yang kreatif dan produktif. Ia sering menghabiskan waktunya
menulis karya-karyanya, bahkan saat usia senja. Uniknya, saat ia sedang
mengalami problema emosional yang sangat berat adalah saat kreativitasnya
muncul. Karena karya dan produktifitasnya itu, Freud dikenal bukan hanya
sebagai pencetus psikoanalisis, tapi juga telah meletakkan teknik baru untuk
bisa memahami perilaku manusia. Hasil usahanya itu adalah sebuah teori
kepribadian dan psikoterapi yang sangat komprehenshif dibandingkan dengan teori
serupa yang pernah dikembangkan.
Psikoanalisa dianggap sebagai
salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu
metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah
konsepsi baru tentang manusia. Hipotesis pokok psikoanalisa menyatakan bahwa
tingkah laku manusia sebahagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar,
sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta
ketidaksadaran manusia.
1. Konsep utama
Secara umum konsep utama dari
teori psikoanalisa adalah :
a. Setiap anak memiliki kebutuhan
dasar yang harus dipenuhi dalam rangka perkembangan kepribadiannya secara
sehat. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan kasih sayang, rasa aman, rasa memiliki,
dan perasaan sukses.
b. Perasaan merupakan aspek yang
mendasar dan penting dalam kehidupan dan perilaku anak.
c. Masing-masing anak berkembang
melalui beberapa tahapan perkembangan emosional. Pengalaman traumatik dan
deprivasi dapat berpengaruh terhadap munculnya gangguan kepribadian.
d. Kualitas hubungan emosional
anak dengan keluarga dan orang lain yang signifikan dalam kehidupannya
merupakan faktor yang sangat krusial.
e.
Kecemasan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dan konflik-konflik dalam diri
anak merupakan faktor penentu penting terhadap munculnya gangguan tingkah laku.
Selanjutnya, untuk memperoleh
pemahaman yang utuh tentang teori psikoanalisa dapat dipahami konsep-konsepnya
tentang pandangannya tentang sifat manausia, struktur kepribadian,
ktidaksadaran dan kesadaran, dan kecemasan, sebagai berikut.
a.
Persepsi tentang sifat manusia
Menurut
Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang
tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu
pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan
bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah
deterministik. Ajaran psikoanalisa juga menyatakan bahwa perilaku seseorang itu
lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut. Sedangkan
tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan
dorongan agresif. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas yang dihadapi
seseorang erat kaitannya dengan kenyataan bahwa setiap manusia akan mengalami
kematian.
b.
Struktur kepribadian
Dalam teori psikoanalitik,
struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id adalah
komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal. Merupakan bagian
tertua dari aparatur mental sekaligus merupakan komponen terpenting sepanjang
hidup. Id berkerja dengan menangut prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego
adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, berperan sebagai “eksekutif”
yang memerintah, mengatur dan mengendalikan, serta mengontrol jalannya id,
super- ego dan dunia luar, penengah antara instink dengan dunia luar dengan
menilai realita dalam hubungannya dengan nilai-nilai moralitas. Prinsip kerja
ego menganut prinsip realitas “reality principle”. Superego adalah bagian moral
dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk,
salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego. Di sini
superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma
moral masyarakat.
Dalam dinamikia kepribadian
manusia, sekalipun id, ego, dan super ego masing-masing memiliki fungsi, sifat,
dan prinsip kerja tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama
lainnya dan tidak mungkin dipisahkan. Apabila ketiga sistem tersebut mampu
bekerja sama secara produktif, maka seseorang akan dapat memenuhi kebutuhannya
tanpa menyalahi atau bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat, yang
berarti memiliki kemampuan penyesuasaian diri yang baik (welladjusted).
Sedangkan apabila sistem tersebut berada dalam konflik, misal adanya dorongan
Id yang terlalu kuat dalam mengontrol tingah lakunya, maka seseorang tersebut
dapat dikatakan mengalami pesenyesuaian diri yang salah (maladjusted).
Dinamika kepribadian manusia juga
dapat dilihat sebagai suatu sistem energi, yang dinamikanya sangata ditentukan
oleh energi yang menggerakkan. Dalam pandangan ini, dinamika kepribadian itu
terdiri dari cara-cara untuk mendistribusikan energi psikis kepada id, ego dan
super ego, tetapi energi tersebut terbatas, sehingga satu diantara tiga sistem
itu memegang kontrol atas energi yang ada, dengan mengorbankan dua sistem
lainnya. Dalam pembentukan kepribadian, cara kerja masing-masing struktur
tersebut adalah:
(1) apabila rasa id menguasai
sebagian besar energi psikis, maka pribadinya akan bertindak primitif, implusif
dan agresif dan mengumbar impuls-impuls primitifnya,
(2) apabila rasa ego menguasai sebagian besar
energi psikis itu, maka pribadinya bertindak dengan cara-cara yang realistik,
logis, dan rasional, dan
(3) apabila rasa super ego yang
menguasai sebagian besar energi psikis, maka pribadinya akan bertindak pada
hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang
kadang-kadang irrasional.
c..
Kesadaran dan ketidaksadaran
Pemahaman tentang kesadaran dan
ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran
Freud, sekaligus kunci untuk memahami pandangannya tentang perilaku manusia dan
masalah-masalah kepribadian yang dihadapinya. Freud menggambarkan
ketidaksadaran dan kesadaran ini bagaikan gunung es di tengah lautan, dengan
bongkahan kecil yang tampak di atas permukaan laut sebagai kesadaran.
Dalam pandangan Freud, sebagian
besar perilaku manusia didorong atau ditentukan oleh kekuatan atau
kebutuhan-kebutuhan yang tidak disadari, yaitu pengalaman-pengalaman atau
trauma masa kecil yang terdesak, tertekan, terpendam, atau terkubur dalam
ketidaksadarannya, karena apabila muncul dalam kesadarannya akan menimbulkan
kecemaan yang tidak tertahankan. Dalam kurun waktu yang lama, materi terpendam
tersebut justru malah dapat menyebabkan berkembangnya kecemasan kepada diri
yang bersangkutan dan sewaktu-waktu dapat muncul secara mendadak dan tidak
tertahankan. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian
bermula dari hal tersebut. Bukti klinis untuk membenarkan alam ketidaksadaran
manusia dapat dilihat dari hal-hal berikut, seperti:
(1) mimpi, yang merupakan
pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi dalam diri,
(2) salah ucap
(3) sugesti pasca hipnotik,
(4) materi yang berasal dari
teknik asosiasi bebas, dan (5) materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta
isi simbolik dari simptom psikotik.
d.
Kecemasan
Bagian yang tidak kalah penting
dari teori Freud adalah tentang kecemasan, yaitu suatu keadaan tegang atau
takut yang mendalam sebagai hasil bermunculannya pengalaman-pengalman yang
terdesak. Kecemasan berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego
tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Kecemasan sering kali tidak
jelas, mengambang atau samar dan tidak menjelma dalam bentuk yang khusus.
Sedangkan fungsi utamanya adalah untuk mengingatkan adanya bahaya yang datang.
Dalam konsep Freud, kecemasan
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kecemasan kecemasan realita, neurotik
dan moral. Kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari
dunia luar. Kecemasan ini sumbernya adalah ego. Kecemasan neurotik adalah rasa
takut yang bersumber pada id, yaitu takut tidak mampu mengendalikan instinknya.
Sedangkan kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri,
yaitu terhadap adanya pertentangan moral. Sumber kecemasan ini adalah super
ego.
Kecemasan
selalu berakibat kepada terancamnya ego, sehingga sering memaksa ego untuk
mengambil tindakan untuk menghilangkannya agar diperoleh keseimbangan. Tindakan
ini dapat meliputi dua cara, yaitu belajar melalui identifikasi dan pemindahan
obyek (displacement). Apabila pemindahan obyek ini memiliki nilai yang lebih
tinggi maka disebut sublimasi. Bentuk lain dari reaksi emosional terhadapa
adanya kecemasan adalah mekanisme pertahanan diri, yang dapat berupa represi,
reaksi formasi, proyeksi, fiksasi, dan regresi.
e.
Perkembangan kepribadian
Dalam psikoanalitik, perkembangan
manusia merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan
psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud
setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses
menjadi dewasa. Keberhasilan dalam mencapai setiap tahap perkembangan merupakan
faktor kritis bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.
Freud percaya bahwa karakteristik kepribadian dibentuk pada usia enam tahun
pertama. Kepuasan dalam setiap tahap perkembangan sangat penting artinya agar
anak tidak tertahan pada suatu tahap perkembangan tertentu, karena itu penting
bagi orang tua untuk membantu agar anak mampu melakukan penyesuaian dengan baik
pada masing-masing tahap perkembangan maupun dalam masa transisi menuju tahap
perkembangan berikutnya.
Menurut
Freud kepribadian manusia terbentuk pada masa kanak-kanak, dimana pada umur
sekitar 5 tahun hampir seluruh struktur dasar kepribadian telah terbentuk,
sebagai hasil dari ketegangan-ketegangan dalam menghadapi proses pertumbuhan
fisiologis, frustrasi, konflik, dan ancaman.
B.
Konseling
Behavioral
Teori konseling behavioral
berasal dari konsepsi yang dikembangkan oleh hasil-hasil penelitiaan psikologi
eksperimental. Terutama dari Pavlov dengan classical conditioning-nya dan B. F.
Skinner dengan operant conditioning-nya, yang menurutnya berguna untuk
memecahkan masalah-masalah tingkah laku abnormal dari yang sederhana (hysteria,
obsesional neurosis, paranoid) sampai pada yang kompleks (seperti phobia,
anxiety, dan psikosa), baik untuk kasus individual maupun kelompok.
Pendekatan behavioral juga
merupakan suatu pendekatan terapi tingkah laku yang berkembang pesat dan sangat
populer, dikarenakan memenuhi prinsip-prinsip kesederhanaan, kepraktisan,
kelogisan, mudah dipahami dan diterapkan, dapat didemonstrasikan, menempatkan
penghargaan khusus pada kebutuhan anak, serta adanya penekanan perhatian pada
perilaku yang positif. Termasuk tokoh-tokoh dari teori konseling behavioral
antara lain John D. Krumboltz, Carl E. Thoresen, Wolpe, Albert Bandura, dan
Ray. E. Hosfort.
Berbeda dengan teori psikoanalisa
yang menekankan pentingnya perilaku klien dalam kaitannya dengan pengalaman
hidup masa lampau, dalam teori behavioral lebih menekankan kepada perilaku
klien di sini dan saat ini. Artinya, bahwa perilaku individu yang terjadi saat
ini dipengaruhi oleh suasana lingkungan pada saat ini.
1.
Konsep utama
Dalam
pandangannya tentang hakekat manusia, teori behavioral menganggap bahwa pada
dasarnya manusia bersifat mekanistik dan hidup dalam alam yang deterministik,
dengan sedikit peran aktifnya untuk memilih martabatnya. Perilaku manusia
adalah hasil respon terhadap lingkungan dengan kontrol yang terbatas dan
melalui interaksi ini kemudian berkembang pola-pola perilaku yang kemudian
membentuk kepribadian.
Dalam konsep behavioral, perilaku
manusia merupakan hasil dari proses belajar, sehingga dapat diubah dengan
memanipulasi kondisi-kondisi belajar. Dengan demikian, teori konseling
behavioral hakekatnya merupakan aplikasi prinsip-prinsip dan teknik belajar
secara sistematis dalam usaha menyembuhkan gangguan tingkah laku. Asumsinya
bahwa gangguan tingkah laku itu diperoleh melalui hasil belajar yang keliru,
dan karenanya harus diubah melalui proses belajar, sehingga dapat lebih sesuai.
Tujuan utamanya menghilangkan tingkah laku yang salah suai dan menggantikannya
dengan tingkah laku baru yang lebih sesuai.
Menurut Apter (1982) asumsi dasar
dari model behavioral adalah bahwa : (1) seluruh perilaku manusia dipelajari
dan dapat tidak dipelajari melalui aplikasi prinsip-prinsip belajar, (2)
perilaku yang tidak tepat dapat diubah (dihapus dan atau diganti dengan
perilaku yang lebih dapat diterima) melalui penggunaan prosedur penguatan, dan
(3) sangat mungin untuk memprediksikan dan mengontrol tingkah laku apabila
seluruh karakateristik lingkungan yang bersangkutan diketahui. Sedangkan
menurut Bootzin (Nafsiah, 1996) asumsi tersebut meliputi : (1) bahwa tingkah
laku yang ditunjukkan dapat diobservasi, (2) bahwa tingkah laku manusia baik
karena pengaruh lingkungan ataupun karena pengalaman dapat diamati dan diukur
intensitasnya, (3) bahwa tingkah laku manusia seperti halnya gejala alam lainnya,
dapat diramalkan dan dikontrol, dan (4) bahwa belajar merupakan faktor utama
yang mempengaruhi tingkah laku, baik tingkah laku yang normal maupun yang
menyimpang.
Tujuan terapi tingkah laku adalah
untuk menghilangkan tingkah laku yang salah suai dan membentuk tingkah laku
baru yang lebih sesuai. Menurut Eysenck (Dahlan, 1985) karakteristik terapi
tingkah laku adalah :
a. Didasarkan pada teori yang
dirumuskan secara tepat dan konsisten yang mengarah pada kesimpulan yang dapat
diuji.
b. Didasarkan atas telaah
eksperimental yang secara khusus untuk menguji teori-teori dan kesimpulan.
c. Memandang simptom sebagai
respon bersyarat yang tidak sesuai (maldaptive conditional responses)
d. Memandang simptom sebagai
bukti adanya kekeliruan tingkah laku, ditentukan atas dasar perbedaan
individual yang dibentuk atas dasar proses conditioning dan autonom sesuai
lingkungannya masing-masing.
e. Menganggap peyembuhan gangguan
neurotik sebagai pembentukan kebiasaan (habit) yang baru.
f. Penyembuhan dilakukan dengan
secara langung membasmi respon bersyarat yang keliru dan membentuk respon
bersyarat yang baru.
g.
Pertalian pribadi tidaklah esensial, sekalipun kadang diperlukan.
Dalam pandangan Aubrey Yates
(Dahlan, 1985) terapi tingkah laku dapat dikatakan sebagai science sekaligus
sebagai art. Seorang ahli terapi tingkah laku harus mampu memanfaatkan
psikologi dan melaksanakan eksperimen, karenanya ia harus mampu menyusun
berbagai alternatif yang bersifat hipotesis untuk diuji dalam eksperimennya
sebagai penjabaran operasional dari proses terbentuknya tingah laku. Ditegaskan
pula bahwa yang menjadi landasan terapi tingkah laku adalah kenyataan bahwa :
a. Psikodinamika dan psikiatri tidak mampu
menyelesaikan seluruh tingkah laku salah suai
b. Tingkah laku abnormal yang tidak disebabkan
gangguan organic, terjadi karena kekeliruan belajar.
c. Konsep-konsep seperti
ketidaksadaran, id, ego, super ego, insight, dan self tidak digunakan dalam
memahami dan menyembuhkan penyimpangan tingkah laku.
d. Simptom merupakan penyimpangan
tingkah laku yang penyembuhannya dilakukan dengan menghilangkan tingkah laku
tersebut, dan bukan sekedar mengganti simptom.
e.
Penelitian tentang sebab-sebab terjadinya symptom dan mencari stimulus yang
menyebabkan simptom sangat diperlukan bagi penyembuhan.
Burk & Stefflre (1979)
menyatakan bahwa keutamaan dari pendekatan terapi behavioral dapat ditinjau
dari empat hal, yaitu :
a. Proses pembelajaran: Fokus
bantuan adalah belajar perilaku baru, dengan menggunakan prinsip-prinsip dan
prosedur belajar.
b. Teknik-teknik disesuaikan
secara individual : Masing-masing individu memiliki pengalaman yang unik.
Karena itu tidak ada standar teknik yang dapat digunakan untuk semua anak.
c. Metodologi eksperimen :
Konseling adalah aktivitas kompleks, dan konselor harus mempertanyakan dan
menguji aktivitas mereka sepanjang waktu. Inti dari pendekatan ini adalah
metodologi ekperimen sehingga masing-masing aktivitas bantuan untuk
masing-masing klien dapat diuji (examined).
d.
Metodologi ilmiah: konseling adalah proses yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan, dengan penggunaan observasi systematik, kuantifikasi
data, dan prosedur analisis dan kontrol yang baik sebagai metode untuk
meningkatkan konseling.
2.
Aplikasi dalam konseling
Berangkat dari asumsi bahwa
perilaku yang normal ataupun tidak adalah sama-sama merupakan hasil belajar,
maka kontribusi terbesar dari pendekatan behavioral adalah diperkenalkannya
konsep tersebut secara ilmiah di bidang psikoterapi, yaitu bagaimana
memodifikasi perilaku melalui penataan lingkungan, sehingga terjadi proses
belajar yang tertuju kepada perubahan perilaku.
Pendekatan behavioral yang
memusatkan perhatian kepada perilaku yang tampak, mengindikasikan bahwa dalam
pelaksanaan konseling yang perlu diperhatikan adalah pentingnya konselor untuk
mencermati permasalahan-permasalahan penyimpangan perilaku klien yang
ditampilkan untuk selanjutnya merumuskan secara jelas tentang
perubahan-perubahan yang dikehendaki, keterampilan-keterampilan baru apa yang
diharapkan dimiliki klien dan bagaimana keterampilan baru tersebut dapat
dipelajari.
a.
Tujuan konseling
Tujuan utama konseling behavioral
adalah menghilangkan tingkah laku yang salah suai (maladaptive) dan
menggantikannya dengan tingkah laku baru yang lebih sesuai. Secara rinci tujuan
tersebut adalah untuk (a) menghapus pola-pola perilaku maladaptif anak dan
membantu mereka mempelajari pola-pola tingkah laku yang lebih konstruktif, (b)
mengubah tingkah laku maladaptif anak, dan (c) menciptakan kondisi-kondisi yang
baru yang memungkinkan terjadinya proses belajar ulang. Konseling behavioral
pada dasarnya merupakan proses penghapusan hasil belajar yang salah dengan
memberikan pengalaman-pengalaman belajar baru yang didalamnya mengandung
respon-respon yang layak yang belum dipelajari.
Menetapkan tujuan konseling
tidaklah mudah, karena harus mempertimbangkan berbagai hal agar mampu berfungsi
sebagai penuntun konseling. Krumboltz (Shertzer dan Stone, 1980) menegaskan
bahwa tujuan konseling handaknya memperhatikan kriteria sebagai berikut : (1)
diinginkan oleh klien, (2) harus ada keinginan dari konselor untuk membantu
klien dalam mencapai tujuan, dan (3) pencapaiannya dapat dinilai oleh klien.
Untuk memenuhi kriteria ini, tujuan konseling harus dinyatakan dalam tindakan
yang spesifik, termasuk tingkatan dan kondisinya. Sedangkan menurut Corey
(1986) terdapat tiga fungsi tujuan dari konseling behavioral, yaitu sebagai :
(1) refleksi masalah klien sekaligus arah konseling, (2) dasar pemilihan dan
penggunaan strategi konseling, dan (3) landasan untuk menilai hasil konseling.
b.
Fungsi dan peranan konselor
Penerapan
prinsip-prinsip belajar dalam pendekatan behavioral telah menempatkan
pentingnya fungsi dan peranan konselor sebagai pengajar. Secara aktif, direktif
dan kreatif konselor diharapkan mampu menerapkan pengetahuan-pengatahuan yang
dimilikinya guna mengajarkan keterampilan-keterampilan baru sesuai pemasalahan
klien dan tujuan yang diinginkan.
Dalam pendekatan kognitif
behavioral dari Bandura, dijelaskan bahwa kebanyakan belajar perilaku baru
diperoleh melalui pengalaman-pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang
lain melalui proses mencontoh atau identifikasi. Untuk itu penting bagi
konselor untuk menyadari dampak dari setiap sikap dan perilakunya, karena akan
menjadi salah satu sumber belajar (model) bagi klien dalam mengatasi
masalah-masalahnya.
Fungsi lain yang juga harus
ditegakkan oleh konselor selama proses konseling adalah melaksanakan asesmen
dan penilaian secara terus menerus, menetapkan sasaran perubahan perilaku dan
bagaimana mengajarkan untuk mencapainya, peka terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi, serta membantu mengembangkan tujuan-tujuan pribadi dan sosialnya.
Untuk itu, penting bagi konselor untuk memahami dan menguasai teknik-teknik
yang tepat sesuai permasalahan yang dihadapi anak dan tujuan yang diharapkan
dicapai.
Dalam kaitan dengan asesmen
Kanfer dan Saslow (Burk dan Stefflre, 1979) telah menyaranan adanya tujuh area
yang perlu mendapat perhatian, meliputi : (1) analisa problem prilaku yang
ditampilkan klien, (2) analisa situasi dimana problem perilaku itu muncul, (3)
analisa motivasional, (4) analisa riwayat perkembangan, (5) analisa kontrol
diri, (6) analaisa hubungan sosial, dan (7) analisa lingkungan phisik, sosial,
dan kultural.
c.
Proses dan teknik konseling
Dalam proses konseling, sekalipun
dalam pendekatan behavioral hubungan pribadi bukan merupakan unsur yang
menentukan bagi keberhasilan konseling, namun para ahli umumnya sepakat bahwa
hubungan pribadi tersebut harus tetap ditegakkan karena dapat mempengaruhi
proses therapeutik. Untuk itu, konselor hendaknya tetap berupaya untuk
mengembangkan hubungan yang penuh kehangatan, keaslian, dan emphati.
Sesuai
dengan karakteristik konseling behavioral, maka dalam proses konseling : (1)
masalah perilaku yang akan diterapi harus diidentifikasi dalam bentuk perilaku
(behavior objective) yang teramati dan terukur untuk selanjutnya dijadikan
indikator untuk menentukan tolok ukur tercapai tidaknya tujuan konseling, (2)
prosedur dan teknik konseling yang dipilih harus diarahkan untuk mengubah
lingkungan, (3) metode yang digunakan harus dapat dijelaskan secara logis dan
dapat dipahami oleh klien, (4) sedapat mungkin teknik yang digunakan dapat
diterapkan dalam lingkungan kehidupan sehari-hari, dan (5) teknik dan prosedur
yang digunakan harus mendasarkan kepada prinsip psikologi belajar secara umum
serta prinsip classical conditioning dan operant conditioning.
Krumboltz (Surya, 2003)
mengemukakan bahwa terdapat empat metode daam konseling behavioral, yaitu :
1)
Operant learning
Dalam metode ini yang penting
adalah penguatan yang dapat menghasilkan perilakau yang diharapkan, serta
pemanfaatan situasi diluar klien yang dapat memperkuat prilaku klien yang
dikehendaki. Penguatan hendaknya sesuai kebutuhan anak dan diberikan sistematis
dan untuk itu konselor harus mengetahui kapan dan bagaimana penguatan itu
diberikan dan merancang perilaku yang memerlukan penguatan.
2)
Unitative learning atau social modelling
Dalam metode ini yang penting
adalah peerlunya konselor menrancang perilaku adaptif yang dapat dijadikan
model bagi klien, baik dalam bentuk rekaman, pengajaran berprogram, video,
film, biografi atau orang. Model yang dipilih hendaknya subyek yang berprestise,
kompeten, aktraktif (menarik), dan berpengaruh.
3)
Cognitive learning
Metode ini lebih banyak
menekankan pentingnya aspek perubahan kognitif kien. Dalam pelaksanaannya dapat
dilakukan melalui pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan
klien, dan bermain peran.
4)
Emotional learning
Metode ini diterapkan untuk
individu yang mengalami kecemasan, melalui penciptaan situasi rileks dengan
menghadirkan rangsang yang menimbulkan kecemasan bersama dengan suatu rangsang
yang menimbulkan kesenangan, sehingga secara berangsur kecemasan tersebut
berkurang dan akhirnya dapat dihilangkan.
Sedangkan teknik yang biasa
digunakan dalam keempat pendekatan atau metode di atas antara lain :
1. Desentisisasi sistematis, yaitu suatu cara
yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperbuat secara negatif
dengan menyertakan pemunculan tingkah laku yang berlawanan dengan tingkah laku
yang hendak dihapuskan. Salah satu caranya adalah dengan melatih anak untuk
santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman
pembangkit kecemasan.
2. Latihan asertif, yaitu latihan mempertahankan
diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan, dengan cara
mempertahankan hak dan harga dirinya. Latihan ini tepat untuk anak-anak yang
mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya.
Misalnya, bagi mereka
yang sulit untuk berkata ”tidak”,
tidak dapat menyatakan kemarahannya, atau merasa tidak punya hak untuk
menyatakan pikiran dan perasaannya. Dalam pelaksanaan teknik ini, penting bagi
konselor untuk melatih keberanian anak untuk berkata atau menyatakan pikiran
dan perasaan yang sesungguhnya secara tegas. Caranya dapat melalui bermain
peran. Misal, anak diminta untuk berperan sebagai orang tua yang galak dan
konselor sebagai anak yang pendiam. Kemudian peran tersebut dipertukarkan.
3. Terapi aversi, digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan buruk atau menghukum perilaku yang negatif dan
memperkuat perilaku positif, dengan meningkatkan kepekaan klien agar mengganti
respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut,
dibarengi dengan stimulus yang merugikan dirinya. Misalnya, anak yang suka
mabuk, maka minumannya dicampur dengan obat tertentu yang dapat menjadikan
pusing atau muntah.
4. Penghentian pikiran. Teknik
ini efektif digunakan untuk klien yang sangat cemas. Caranya, misal klien
ditutup matanya sambil membayangkan dan mengatakan sesuatu yang mengganggu
dirinya, misal berkata “saya jahat” – pada saat itu klien memberi tanda,
kemudian terapi berteriak atau berkata keras dan nyaring berkata “berhenti”.
Jadi pikiran yang tadi digantikan dengan teriakan terapi, berulang-ulang sampai
dirinya sendiri yang bisa menghentikan.
5. Kontrol diri, dilakukan untuk meningkatkan
perhatian pada anak tugas-tugas tertentu, melalui prosedur self assessment,
mencatat diri sendiri, menentukan tindakan diri sendiri, dan menyusun dorongan
diri sendiri.
6.
Pekerjaan rumah. Yaitu dengan memberikan tugas atau pekerjaan rumah kepada
klien yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan situasi tertentu. Misal,
kepada klien yang suka melawan ketika dimarahi orang tua, maka diberi tugas
selama satu minggu untuk tidak menjawab ketika sedang dimarahi, kemudian
hasilnya dievaluasi dan secara berangsur ditingkatkan.
Dalam implementasinya pada anak
berkebutuhan khusus, penggunaan teknik-teknik di atas harus disesuaikan dengan
hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual, serta dengan
mempertimbangkan kelebihan anak, macam dan nilai penguatan yang tersedia, serta
orang lain yang berarti atau bermakna bagi kehidupan anak.
C.
Konseling yang Berpusat pada Pribadi
Konseling yang berpusat kepada
pribadi sering pula disebut sebagai konseling yang berpusat kepada klien,
konseling teori diri (self theory), atau konseling Rogerian. Disebut sebagai
konseling Rogerian, karena Carl Ransom Roger merupakan pelopor sekaligus tokoh
dari konseling ini.
Berbeda dengan psikologi
behaviorisme, Carl Ransom Rogers membela psikologi fenomenologis dan
humanistis. Sebagai seorang psikolog humanistic, Rogers lebih menekankan
pentingnya relasi antarpribadi dengan sikap saling menghargai dan tanpa
prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi
masalah-masalah kehidupannya serta dalam mempermudah perkembangan kepribadian.
Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban sendiri atas
permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien
menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan
pendapat terapis bukanlah hal yang penting dalam treatment kepada klien.
1.
Konsep Utama
Berdasarkan pengalaman klinisnya
Roger telah sampai kepada keyakinan dasar filosofis bahwa organisme manusia
pada hakekatnya mempunyai tujuan tertentu dan berkembang maju ke depan.
Organisme bersifat konstruktif, realistik, progresif, dapat dipercayai, dan
secara kodrat alamiah memiliki potensi untuk berkembang. Apabila kodrat alamiah
yang potensial ini tidak dihalangi, maka akan berkembang sepenuhnya menurut
potensi pembawaan lahiriah, sehingga mampu berfungsi sebagai fully human being
yang hidup selaras dengan kodrat alamiahnya, dan hidup bersama orang lain
sebagai manusia yang positif dan normal. Atas dasar ini, Roger berpandangan
bahwa aspek-aspek negatif yang terjadi pada seseorang seperti irrasional, a
social, egoistis, kejam, distruktif, kurang matang dan regresif disebabkan
karena ia hidup tidak selaras dengan kodrat alamiahnya.
Berbeda dengan pandangan
psikoanalisis tentang manusia yang lebih pesimistis dan pandangan behavioristik
yang lebih mekanistik, Roger memiliki pandangan yang lebih optimistik, karena
dalam pandangannya setiap manusia memiliki tendensi spontan untuk
berdiferensiasi, bertanggung jawab atas dirinya sendiri, menentukan jalan
hidupnya sendiri, menjadi matang, dan bekerja sama dengan baik. Dengan kata
lain secara kodrati memiliki motivasi dasar yang kuat dan terarah untuk
mempertahankan, memperkaya, mengembangan, serta mewujudkan diri
sepenuh-penuhnya, atau disebut “tendensi aktualisasi”. Sedangkan sifat khas
tendensi aktualisasi yaitu berakar dalam proses fisiologis, menuju kepada
dieferensiasi dan kompleksitas yang lebih besar, holistik, meningkatkan
ketegangan, selektif, aktualisasi diri secara otonom dan memuncak ke arah
pemilikan nilai-nilai baru yang transenden dan spiritual. Penjelasan Roger
tentang aktualisasi diri tidak lepas dari dua tiang utama dari teori tentang
struktur kepribadian, yaitu “organisme” dan “self”.
Secara psikologis, “organisme”
adalah totalitas seluruh pengalaman, baik yang disadari (sudah
disimbolisasikan) atau tidak (belum disimbolisasikan), yang disebut sebagai
“lapangan fenomenal”. Sedangkan lapangan fenomenal hakekatnya adalah realitas
subyektif, bersifat unik, dan sangat berpengaruh kepada tingkah laku manusia.
Karena itu, bagaimana individu bertingkah laku sangat tergantung kepada cara
subyek mengalami dan menafsirkan realitas subyektifnya. Dalam kaitan dengan
“self”, dijelaskan bahwa self adalah aspek hakiki dari pengalaman diri dalam
bentuk konseptual yang tetap, teratur, dan koheren yang dibentuk oleh persepsi-persepsi
tentang kekhasan dari “aku” dan persepsi-persepsi tentang hubungan antara aku
dan orang lain. Pengalaman diri yang disadari, selanjutnya disebut “self
concept”. Jadi merupakan bagian sadar sekaligus inti dari ruang fenomenal yang
disadari dan disimbolisasikan, dimana “aku” sebagai pusatnya, yang membedakan
antara aku dengan orang lain.
Dalam kaitan dengan konsep diri,
Roger menjelaskan bahwa dalam diri seseorang terdapat konsep diri yang real dan
konsep diri yang ideal. Konsep diri yang real adalah konsep diri yang
sesungguhnya, asli, dan sudah dimiliki sebagai dasar otentisitas dan
universitas yang terwujud dalam bentuk individual yang unik, yang oleh Roger
kemudian disebut sebagai “diri yang organismik”. Sedangkan diri organismik yang
paling asli dan paling real, menurut Roger adalah “diri perasa” (feeling-self),
yaitu sesuatu (pengalaman) yang bukan bersifat kognitif dan aktif, tetapi
bersifat intuitif dan membuka diri untuk merasakan proses pengalaman organik.
Menurut Roger, merasakan merupakan aktivitas inti dari kejiwaan manusia. Atas
dasar ini, tujuan dari tendensi aktualisasi diri hakekatnya adalah berusaha
untuk mengembangkan semaksimal mungkin feeling self, sehingga lebih luas,
memadai, dan sesuai dengan perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman
organismiknya (congruence). Tidak sempit, kaku, palsu, dan “cacat”
(incongruence).
Bentuk konsep diri yang
incongruence dapat berupa mekanisme pembelaan diri, yaitu : (1) penyimpangan
atau distorsi (distorsion), yaitu sebuah konsep diri yang sebenarnya tidak
cocok dengan feeling self-nya, namun dipaksakan supaya cocok dalam bentuk “yang
dikacaukan”, misalnya melalui mekanisme rasionalisasi, dan (2) penyangkalan
(denial), yaitu uatu upaya untuk mempertahankan integritas konsep dirinya
dengan menolak secara sadar pengalaman-pengalaman yang berbahaya dengan
memalsukan realitas bahwa pengalaman tersebut tidak ada (bersikap defensive).
Misalnya, dengan tidak mengakui sikap agresivitasnya.
Roger juga menjelaskan bahwa
dalam kaitan dengan penilaian terhadap pengalaman-pengalaman dan konsep dirinya
yang positif atau negatif, sangat ditentukan oleh pengaruh-pengaruh sosial.
Sebab, pengaruh-pengaruh sosial yang berupa anggapan sosial tersebut yang
selanjutnya akan diintroyeksikan dalam dirinya dan digunaan sebagai bahan untuk
menilai diri. Sedangkan dalam rangka pembentukan konsep diri yang positif,
setiap manusia memerlukan kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan,
penerimaan, pengagungan, dan dicintai, yang oleh Roger disebut sebagai
kebutuhan akan penghargaan positif (need for positive regard). Karena itu pula,
semua penghargaan negatif yang datang dari lingkungan akan ditolak dan
disingkirkan dari konsep diri anak, karena tidak sesuai dengan kebutuhan
dasarnya.
Dalam diri setiap manusia
sebenarnya selalu terdapat sedikit inkongruensi, termasuk pada mereka yang
secara psikis cukup sehat dan matang, karena mereka kadang-kadang merasa diri
terancam oleh pengalaman-pengalaman yang tidak sesuai dengan konsep dirinya.
Namun pengalaman-pengalaman dapat menjadi sangat mengancam, dapat menimbulkan
ketakutan yang begitu besar dan dapat tidak tertahankan lagi sehingga dalam
kehidupan sehari-harinya dapat terganggu, sehingga dibutuhan pertolongan
terapeutik seperti halnya pada orang neurotik. Menurut Roger, untuk dapat
mengatasi kondisi inkongruensi, maka kuncinya adalah dengan mengurangi
penghargaan positif dengan syarat (conditional positive regard) dan memperkuat
penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard). Dengan
demikian kesenjangan antara pengalaman organismik dengan konsep diri dapat
dijembatani, sehingga dapat lebih terintegrasi.
Dalam
proses therapeutik di atas, terdapat tiga aspek yang sangat berperan untuk
menciptakan kongruensi. Pertama, tidak boleh ada ancaman apapun bagi struktur/konsep
diri. Konsekuensinya konselor harus menciptakan suatu situasi yang tidak
mengancam kliennya, sehingga klien memiliki keberanian untuk tidak takut dan
dengan penuh percaya diri menghadapi dan menyadari perasaan tak sadar yang
belum disimbolisasikan dan mengancam keamanan konsep dirinya. Dengan demikian
terjadi asimilasi terhadap perasaan-perasaan tak sadarnya, yang berarti terjadi
reorganisasi dalam konsep diri klien yang semakin lama menjadi semakin lebih
kongruen. Kedua, asimilasi dari pengalaman-pengalaman yang belum
disimbolisasikan dapat menghasilkan pengertian yang lebih baik atau lebih
toleran terhadap orang lain. Artinya, dapat lebih menyadari dan menerima orang
lain sebagai orang lain, bukan dirinya yang unik, sehingga tidak perlu
melemparkan atau memproyeksikan perasaan-perasaan yang belum disimbolisasikan
kepada orang lain, karena telah diterima dalam proses penyadaran, sehingga
terbentuk suatu struktur diri yang konsisten dan terintegrasi. Ketiga,
seseorang yang kongruen dan berfungsi sepenuh-penuhnya senantiasa harus
mengubah dan menyesuaikan nilai-nilainya secara terus-menerus. Artinya, nilai
yang telah diambil dari orang lain melalui identifikasi dan introyeksi harus
diuji secara mandiri dan mengubahnya melalui proses penilaian yang terus-menerus
sesuai dengan pengalaman-pengalaman barunya. Dengan demikian, akan timbul
sistem nilai yang otonom, dinamik, dan tidak kaku.
D.
Gestalt therapy
Terapi gestalt lahir berdasar
atas pengembangan dari empat disiplin ilmu yang berbeda, yaitu psikoanalisis,
fenomenologis, eksistensialis, dan teori gestalt, dengan tokoh utamanya
Frederick S Pearl.
1.
Konsep utama
Terapi gestalt berangkat dari
pandangan bahwa individu tidak dapat dipahami dengan hanya mempelajari
bagian-bagian, melainkan harus dipahami sebagai suatu organisasi, koordinasi,
atau integrasi dari keseluruahan bagian-bagian sebagai suatu keseluruhan.
Manusia adalah makhluk yang aktif dan senantiasa berupaya untuk mencapai
keseimbangan antara ikatan organisme dengan lingkungannya. Kesehatan akan
dicapai apabila ia mampu menyeimbangkan keduanya, mampu menggeser kepentingan
“saya” dan “engkau” menjadi “kami”.
Berbeda dengan psikoanalisis dari
Freud, Pearl mengajukan adanya konsep “under dog” sebagai lawan super ego, yang
dalam istilah Pearl disebut “top dog”. Apabila super ego menguasi individu
dengan keharusan atau ketakutan akan ancaman bahaya, maka “under dog” menguasai
individu dengan penekanan yang baik dalam rangka mempertahankan diri. Menurut
Pearl, baik “top dog” maupun “under dog” senantiasa bersaing untuk menguasasi
dan mengontrol manusia, sehingga pada hakekatnya setiap manusia senantiasa
tersiksa oleh kedua kekuatan dalam tersebut. Disamping itu apabila dalam konsep
psikoanalisis, frustrasi dapat dianggap sebagai sesuatu yang negatif atau
ancaman, bagi Pearl frustrasi justru dipandang sebagai elemen positif
karena dapat mendorong manusia untuk mengembangkan perlindungan, menemukan
potensi-potensinya, atau dalam menguasai lingkungannya. Karena itu, apabila
anak tidak cukup mengalami frustrasi, maka akan cenderung menggunakan
potensinya untuk mengontrol orang dewasa.
Pearl juga mengajukan konsep
penghindaran (avoidance) dan urusan yang tidak terselesaikan (unfinished
business). Penghindaran adalah segala cara yang digunakan seseorang untuk
melarikan diri dari unfinished business dalam rangka membebaskan diri dari
perasaan tertekan akibat adanya kebutuhan-kebutuhan yang mengalami kebuntuan
(impase). Konsep penghindaran ini relative sama dengan konsep defence mechanism
pada teori psikoanalisis.
Pearl
juga menyatakan bahwa banyak manusia yang dihadapkan kepada situasi kritis
karena tidak mampu mencapai keseimbangan atau keserasian dalam menyatakan
antara apa yang seharusnya dan apa yang sebenarnya (antara gambaran diri dengan
aktualisasi diri), serta antara aktualisasi “saat ini” dan “kemudian” (antara
aktualisasi sekarang dan gambaran da peranannya di masa depan), atau karena
tidak mampu menerima perasaan dan pikiran-pikirannya sendiri. Kondisi-kondisi
inilah yang kemudian dapat menjadikan individu dihantui ketakutan, kecemasan,
rasa tidak percaya diri, dan bergantung kepada lingkungan. Tidak mampu
menguasai diri dan lingkungan, yang akhirnya menjadikan dirinya lemah, kaku,
atau terikat. Tidak memiliki kebebasan dan spontanitas dalam menyatakan diri
dalam hubungan dengan lingkungan secara positif.
2.
Tujuan konseling
Tujuan utama terapi gestalt
adalah membuat klien mampu menerima perasaan dan pikiran-pikirannya,
meningkatkan kepercayaan diri, tidak takut dalam menghadapi dan berperan di
masa depan, tidak bergantung pada orang lain, serta menyadari diri yang
sebenarnya, sehingga pada akhirnya klien dapat memiliki spontanitas dan
kebebasan dalam menyatakan diri dan mandiri. Untuk itu penting bagi konselor
untuk membantu upaya-upaya agar anak berkebutuhan khusus mampu menyadari
tentang hambatan-hambatan dalam dirinya serta menghilangkannya.
3.
Peran konselor
Prinsip penting dalam terapi
gestalt adalah di sini dan saat ini (here and now). Konsekuensinya, konselor
hendaknya lebih mengutamakan pentingnya penyadaran klien (anak berkbutuhan
khusus) terhadap situasi dan kondisi saat ini dan disini, melalui penggunaan
prinsip “now”, “what” dan “how”. Bukan melalui prinsip “why”, karena hanya akan
mengarahkan kepada masa lalu yang tidak pernah sampai kepada jawaban yang
memadai. Bagi klien, kondisi saat ini adalah unfinished business. Karena itu,
yang penting bagi konselor adalah bagaimana klien dapat menyadari kondisi-kondisinya
atau masalah-masalahnya saat ini dan bagaimana harus berbuat untuk
mengatasinya. Sedangkan masa depan (the future) adalah sesuatu yang belum
muncul, sehinga tidak perlu terlalu dirisaukan.
Pandangan
teori gestalt tentang nilai positif dari frustrasi, tampaknya juga harus
dimanfaatkan konselor dengan membuat klien menjadi “kecewa”, sehingga klien
dipaksa untuk dapat menemukan potensi-potensinya dan cara-cara mengatasi
masalahnya, dengan memahami dan menemukan kembali unfinished business-nya. Dalam
konteks ini pemberian motivasi kepada klien menjadi penting.
E.
Rational Emotive Therapy
Tokoh utama Rational Emotive
Therapy (RET) adalah Albert Ellis. Terapi ini hakekatnya dibangun berdasar atas
ketidakpuaan Albert Ellis terhadap teori psikoanalisa serta berdasar atas
pemahamannya tentang teori behavioral.
1.
Konsep utama
RET dibangun berdasar atas
filosofi bahwa ”apa yang menganggu jiwa manusia bukanlah peristiwa-peristiwa,
tetapi bagaimana manusia itu mereaksi atau berprasangka terhadap persitiwa-peristiwa
tersebut”.
Secara
umum dikatakan bahwa anak-anak dan juga binatang memiliki sejumlah keterbatasan
emosi dan cenderung untuk cepat emosi. Seiring dengan pertambahan usia, maka
ketika anak-anak cukup mampu menguasai bahasa secara efektif, mereka memperoleh
kemampuan untuk mempertahankan emosinya dan sedapat mungkin menjaga
emosi-emosinya yang terganggu. RET tidak memusatkan perhatian kepada
peristiwa-pristiwa masa lalu, tetapi lebih kepada peristiwa yang terjadi saat
ini dan bagaimana reaksi terhadap peristiwa tersebut. RET juga percaya bahwa
setiap manusia mempunyai pilihan, mampu mengontrol ide-idenya, sikap, perasaan,
dan tindakan-tindakannya serta mampu menyusun kehidupannya menurut kehendak
atau pilihannya sendiri.
RET didasari asumsi bahwa manusia
itu dilahirkan dengan potensi rasional dan juga irasional. Seseorang
berperilaku tertentu karena ia percaya harus bertindak dalam cara itu.
Sedangkan gangguan emosional terletak pada keyakinan irasional. Dengan kata
lain keyakinan irasional lah yang menyebabkan ganguan emosional. Bila seseorang
mereaksi sesuatu dengan keyakinan irasional, maka ia akan memandang diri
sendiri dan orang lain sebagai jahat, kejam, atau mengerikan. Asumsi lainnya,
bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah, tetapi dua hal yang
saling tumpang tindih, dan dalam prakteknya saling terkait.
Dalam
teorinya, Albert Ellis (Thomson dan Rudolf, 1983) juga menyatakan bahwa secara
alamiah setiap manusia adalah irasional, mengalahkan dirinya sendiri, sehingga
perlu pemikiran dengan cara-cara lain. Ia juga menyatakan bahwa secara alamiah
manusia dapat menjadi ”helpful” dan ”loving” sepanjang mereka tidak dapat
berpikir rasional. Dijelaskan pula tentang adanya siklus tertentu dalam
berpikir irasional, dimana ketika seseorang dikuasai pemikiran irasional, maka
pemikiran tersebut akan mengarahkan kepada kebencian diri. Kebencian diri
selanjutnya akan mengarahkan kepada perilaku merusak diri (self destructive),
dan kemudian secepatnya menumbuhkan kebencian kepada orang lain. Kebencian
terhadap orang lain, pada akhirnya menyebabkan orang lain mereaksi secara
irasional. Sedangkan adanya reaksi irasional
b.
Tujuan konseling
Menurut Thomson dan Rudolf (1983)
tujuan RET adalah mengajarkan klien untuk berpikir dan secara personal lebih
puas dalam cara-cara merealisasikan pilihan-pilihan antara kebencian diri dan
perilaku negatif, meningkat kepada perilaku yang positif dan efisien. Dalam
istilah lain, tujuan utama konseling adalah membantu klien memahami kepercayaan
irasionalnya, dengan mendebat, melepaskan atau mengusirnya, dan selanjutnya
merubahnya dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional. Membantu anak
menjadi evaluator atas dirinya sendiri, sehingga dapat belajar untuk hidup
sehat, mengontrol diri, dan bertanggung jawab atas kehidupannya.
Sedangkan menurut Burks dan
Strefflre (1983) tujuan utama konseling adalah membnatu klien agar memiliki
kepetapatan emosi, mampu mengembangkan self interest, self direction, sikap
toleransi, menerima fakta dengan ketidaktentuan, mampu berpikir fleksibel dan
ilmiah, mampu mengambil resiko dan menerima diri sendiri, serta mampu
meminmalisir frekuensi, intensitas, dan durasi munculnya emosi negatif.
c.
Fungsi konselor
Karakteristik
utama pendekatan RET adalah aktif-direktif. Fungsi utama konselor dalam RET
adalah menyerang, membantah, mengkonfrontasikan, atau membongkar keyakinan
irrasional klien dalam rangka menunjukkan betapa tidak rasionalnya cara
berpikir klien. Untuk itu, konselor harus mampu mengenal secara pasti
kecenderungan dan cara berfikir anak, meyakinkan tentang adanya kesalahan dalam
cara berpikir, menghentikan pikiran-pikiran negatifnya, membantu menggantinya
dengan cara berpikir dalam perspektif baru yang lebih baik, positif, dan
rasional, selanjutnya menguatkan dan meyakinkan akan keberhasilannya serta
menodorng untuk mengimplementasikan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan
nyata.
d.
Proses dan teknik konseling
Dalam proses konseling, klien
diharapkan sepenuhnya dapat mencapai tiga pemahaman : (1) peristiwa-peristiwa sebelumnya
yang menyebabkan perilakunya neurotik, (2) alasan-alasan yang menjadikannya ia
mempertahankan ketidakbahagiannya dan mengulanginya, (3) klien dapat
mengalahkan gangguan emosinya dengan secara konsisten mengobservasi,
menanyakan, dan menemukan system keyakinan dirinya.
Sekalipun dalam RET
menitikberatkan pada aspek kognitif, namun dipercayai bahwa antara pikiran
(kognitif), perasaan, dan perilaku merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan, karena itu dalam konseling ketiga aspek tersebut harus mendapat
perhatian. Sehubungan dengan itu dalam RET dikenal adanya tiga kelompok besar
teknik konseling, meliputi :
1)
Teknik-teknik kognitif
Teknik-teknik
kognitif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien.
Teknik-teknik ini meliputi :
a) Pengajaran : Menunjukkan
betapa tidak logisnya cara berpikir klien sehingga menimbulkan gangguan emosi
dan mengajarkan cara-cara berpikir yang lebih positif dan rasional.
b) Persuasif : Melalui berbagai
argumentasi, konselor meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya yang keliru.
c) Konfrontasi : Menyerang
ketidakrasionalan berpikir klien dan membawanya ke arah berfikir yang lebih
rasional.
d)
Pemberian Tugas : Memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan
tertentu dalam situasi nyata.
2)
Teknik-teknik emotif
Teknik-teknik
emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Dalam teknik
ini, konselor harus mampu menerima klien tanpa sayarat. Termasuk teknik ini
diantaranya adalah sosiodrama, role playing, modeling ataupun self modeling,
latihan asertif (mendorong keberanian dan kebiasaan klien dengan pola perilaku
tertentu yang diinginkannya), humor, serta latihan melawan rasa malu.
F.
Konseling Psikologi Individual
Tokoh konseling psikologi
individual adalah Alfred Adler (1970-1937), seorang penganut psikoanalisa Freud
yang kemudian memisahkan diri karena ketidaksetujuannya terutama dalam
memandang libido seksual sebagai penyebab utama neurotik. Disebut sebagai
psikologi individual karena salam teorinya, Adler lebih menekankan kepada
pendekatan kemanusiaan dan penyakit dari sudut pandang individu sebagai pribadi
satu kesatuan yang utuh, bukan membagi-baginya menjadi bagian-bagian, seperti
gejala, insting, atau dorongan-dorongan.
1.
Konsep utama
Psikologi individual memandang
bahwa setiap manusia pada dasarnya mempunyai perasaan rendah diri
(inferiority), yaitu perasaan lemah dan tidak berdaya yang timbul sebagai
pengalaman dalam interaksinya dengan orang dewasa atau lingkungannya. Perasaan
tersebut dapat bersumber kepada perbedan-perbedaan kondisi fisik, psikologis,
maupun ataupun sosial. Namun, justru kelemahan-kelemahan ini yang membuat
manusia lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya, karena mendorong manusia
untuk memperoleh kekuatan, kekuasaan, kebebasan, keunggulan, dan kesempurnaan,
atau rasa superioritas melalui upaya-upaya kompensasi. Perkembangan perilaku
dan pribadi manusia selalu digerakkan dari kondisi serba kekurangan
(inferirority) ke arah kelebihan (superiority). Namun demikian konsep
superioritas ini tidak berarti harus lebih kuat atau lebih pintar dari orang
lain, tetapi lebih kepada superior dalam dirinya sendiri (superior within
himself atau superiroity over self).
Adler juga memandang bahwa
manusia adalah makhluk yang kreatif, aktif, selalu membuat pilihan, mempunyai
tujuan dan mempunyai arti, dengan kesadaran sebagai pusat kepribadiannya.
Manusia juga memiliki gaya hidup yang unik yang berkembang pada masa
kanak-kanak sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, pandangan-pandangan
tentang dirinya sendiri, tentang dunia, dan tentang perilaku-perilakunya yang
menonjol, dan selanjutnya digunakan secara konsisten untuk mencapai tujuan
hidupnya. Kesalahan gaya hidup, dapat bersumber kepada adanya generalisasi yang
berlebihan, tujuan yang tidak realistis, persepsi yang salah tentang diri dan
lingkungan, penolakan harga diri, ataupun kekeliruan terhadap nilai-nilai
pribadi dan sosial yang dihayatinya.
Perilaku
manusia hakekatnya dipengaruhi oleh pengalaman masa lampau, ditentukan oleh
masa kini, dan mengarah kepada tujuan hidupnya di masa depan. Sedangkan tujuan
hidup setiap manusia manusia disamping bersifat unik, individual, dan
subyektif, juga selalu diorientasikan kepada nilai-nilai sosial yang berkembang
di masyarakatnya. Setiap manusia memiliki minat sosial (social interest) dan
keterikatan sosial (social connectedness), karena itu dalam mencapai tujuan
hidupnya ia tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai sosial yang berkembang
di masyarakatnya, agar diperoleh keharmonisan dan keseimbangan hidup. Sebab,
manusia disamping membutuhkan orang lain, juga memiliki kebutuhan untuk
dibutuhkan dan diterima oleh orang lain.
Berdasarkan konsep-konsep di
atas, Adler memandang bahwa perilaku salah suai, sebagai manifestasi adanya
”kegagalan hidup” karena memiliki gaya hidup yang salah ataupun tujuan hidup
yang keliru sebagai akibat tidak atau kurang berkembangnya minat sosial.
Dalam kaitan dengan kelainan atau
kecacatan fisik, menurut Adler (Bischof, 1970) bahwa hal tersebut dapat
menjadikan inferioritas yang lebih besar sekaligus dapat menjadi intrumen yang
lebih kuat dalam memformulasikan gaya hidup dan menemukan aktivitas-aktivitas
kompensatoris dibandingkan dengan anak normal. Namun demikian, hal tersebut
bukan merupakan jaminan dalam menemukan kompensasi yang tepat. Sedangkan dalam
kaitan dengan keterbelakangan mental (mental impairment), dijelaskan bahwa
kondisi ini akan menjadikan upaya-upaya untuk menemukan kehidupan di
masyarakatnya lebih berat. Alasannya : (1) kompensasi akan lebih sulit untuk
diperoleh dengan keterbatasan mental, karena adanya kesulitan dalam pemahaman,
(2) keragaman kompensasi untuk aktivitas mental lebih terbatas dibandingkan
untuk aktivitas fisik, (3) dalam masyarakat modern lebih menghargai daya pikir
(brain power) dari pada kekuatan otot, dan (4) adanya kekurangpahaman dan
kekurangtoleransian masyarakat terhadap aktivitas kompensatori yang bersifat
mental dari pada fisik. Sekalipun untuk yang mengalami kelainan secara mental
lebih sulit dalam menemukan gaya hidup dibandingkan yang mengalami kelainan
secara fisik, namun bagaimana tingkat pencapaian superioritas mamsing-masing
sangat tergantung kepada dorongan dan bimbingan yang realistik dari orang tua
atau orang dewasa lain sebagai figur orang tua.
2.
Tujuan konseling
Tujuan
utama konseling psikologi individual adalah meningkatkan harga diri, kepercayaa
diri dan minat sosioal klien, menganti tujuan-tujuan hidup yang tidak realistik
kepada tujuan yang lebih realistik, mengembangkan kemampuan kompensatoris
dengan menguji kekuatan dan kelebihan-kelebihan dirinya untuk menguasai
lingkungan, serta mengajarkan anak/klien belajar menghadapi kehidupan sehingga
memperoleh keberhasilan dalam hidupnya
F. Konseling Trait-faktor Theory
1.
Kosep dasar
Beberapa
konsep pokok yang mendasari teori trait-faktor ialah :
a. perilaku manusia dapat
dikelompokkan (ordered) dan diukur terus menerus berdasarkan definisi
trait-faktor
b. individu itu berbeda satu
dengan yang lain dalam setiap tindaknya dan perbedaan-perbedaan individu adalah
meesap seluruhnya
c. dalam batas-batas yang luas
perbedaan individu itu ditentukan secara genetik, perilaku-perilaku dapat
dimodifikasi, dan dapat dimodifikasi dalam batas-batas bahwa hal itu merupakan
fungsi-fungsi dan organisasi dan lingkngannya.
d. adanya konsistensi yang cukup
dari ciri-ciri perilaku inividu, sehinnga kesimpulan-kesimpulan dalam
menjelaskan perilaku-perilaku selanjutnya dapat dibuat
e. perilaku menusia merupakan
produk dari statusnya saat ini, pengalaman-penglaman, keadaan phisik, dan
social setting
f. perilaku manusia dapat
dikonseptialisasikan secara tepat dalam istilah-istilah abilitas, kemampuan
umum, temperamen, dan motivasi
g.
konflik-koflik interpersonal dan sosial dapat dihindarkan (inevitabel), dapat
dikonstruktif atau bahkan dirusak atau dikacaukan.
Pada
dasarnya konsep b sampai g adalah konsep-konsep yang bersumber pada psikologi
deffentetral. Asumsi lain yang mendasari teori ini ialah bahwa
perbedaan-perbedaan individu dapat diididentifikasi secara objektif,
perilaku-perilaku manusia saat ini secara langsung berhubungan secara
signifikan dengan perilaku-perilaku sosial masa datang, dan penjelasan bahwa
melakukan perbandingan dengan kelompok-kelompok sosial mempunyai relevansi
untuk pemahaman dan peningkatan proses penilaian diri.
Trait
pada dasarnya adalah katagori-katagori yang dapat digunakan untuk menjelaskan
perbedaan-perbedaan individu dalam perilaku-perilakunya, sedangkan analisis
faktor telah dikembangkan sebagai suatu makna atau kepastian makna berapa
banyak sifat-sifat dasar itu cukup untuk mempertimbangkan persamaan-persamaan
atau perbedaan-perbedaan dalam skor tes individu. Analisis faktor membantu dalam
meningkatkan kejelasan-kejelasan dari ciri-ciri manuisia.
Dalam
psikologi trait faktor juga digunakan observasi eksternal dari
perilaku-perilaku tersebut untuk membuat inferensi tentang trait, meliputi :
a. Observasi terhadap dua jenis
perbedaan individu, yaitu interindividu yang bervariasi dan bentuk
kelompok-kelompok
b. Digunakan untuk menjelaskan
trait bahwa perilaku-perilaku itu adalah konsisten untuk waktu-waktu
selanjutnya dan dapat diramalkan.
c.
Digunakan untuk menjelaskan trait bahwa perbedaan pola-pola perliku dapat
berhubungan dengan kriteria kepentingan sosial, vokasional, pendidikan, dan
kesehatan mental.
Dalam teori ini ditegaskan pula
bahwa dalam konseling, konselor harus keluar dari kriteria-kriteia umum dan
harus berusaha untuk menetapkan atau memapankan validitas dan reliabelitas dari
data konseling. Tes adalah membantu sepenuhnya dalam konseling bila mereka
membolehkan klien untuk membuat inferensi bermakna tentang karakteristik
pribadi. Dalam hal ini tes mampu meningkatkan pengetahuan diri.
Dalam hal perkembangan individu,
ditegaskan pula bahwa individu adalah capable dalam perilaku-perilaku positif
maupun negatif, dan masalah besar dalam perkembangan individu adalah menempa
hubungan saling ketergantungan sejalan dengan peningkatan perkembangn
masyarakat.
Melalui
konseling, mereka akan mampu mengekspresikan diri mereka sendiri dan membuat
komentar-komentar evaluatif tentang aspek-aspek yang lain dari perkembangannya
untuk mengembangkan potensinya secara penuh
2.
Tujuan Konseling
Secara
umum tujuan konseling trait-faktor adalah mengajarkan pada klien
keterampilan-keterampilan yang efektif dalam membuat keputusan dan membantu
mereka untuk menilai karakteristik mereka lebih efektif dan menghubungkan
evaluasi-evaluasi mereka pada signifikansi sosial dan kriteria-kriteria
psikologi. Teori ini juga memandang bahwa tujuan konseling adalah spesifik
untuk masing-masing individu.
G.
Konseling
Keluarga
Konseling atau terapi keluarga
pada dasarnya lebih dari sekedar teknik terapeutik, tetapi merupakan pendekatan
baru yang menyeluruh untuk memahami perilaku manusia. Konseling keluarga bukan
berarti harus diterapkan di lingkungan keluarga, tetapi juga dapat diterapkan
di sekolah manakala masalah yang dihadapi siswa berkaitan erat dengan keluarga.
Sebab, hakekat konseling keluarga adalah untuk masalah-masalah kemanusiaan yang
muncul di tengah-tengah keluarga atau dihadapi oleh individu sebagai anggota
keluarga, sehingga menggangu keseimbangan hidup atau kebahagiaan hidup keluarga
tersebut.
1.
Konsep utama
Esensinya dasar konseling
keluarga yaitu usaha untuk membantu individu anggota keluarga yang mengalami
masalah dengan mempertimbangkan keluarga, dan mengusahakan agar terjadi
perubahan perilaku yang positif pada diri individu yang akan memberikan dampak
positif terhadap anggota keluarga lain. Perez (1979) menegaskan bahwa konseling
keluarga adalah suatu proses interaktif untuk membantu keluarga dalam mencapai
keseimbangan dimana setiap anggota keluarga merasakan kebahagiaan. Tujuannya adalah
untuk menghasilkan perubahan pada perilaku yang memungkinkan konseli atau klien
hidup lebih produktif dan memuaskan kehidupan perseorangan maupun keluarga.
Secara
umum, terdapat tiga teori yang melandasi konseling keluarga, yaitu teori peran,
teori perkembangan, dan teori ekologi. Teori peran memandang bahwa keluarga
adalah suatu unit yang keberfungsiannya tergantung kepada peran dan interaksi
dari setiap anggotanya. Terkait dengan ini, terdapat empat konsep dasar untuk
memahami kesehatan mental dan keluarga, yaitu komplementaritas, pertukaran
peran, konflik peran, dan kebalikan peran.
REFERENSI
-
Sunardi, 2008. Makalah Konseling. PLB
FIP UPI
-
Nanang Erma Gunawan, Teori dan Teknik
Konseling, UNY
-
Dr.Sardjito 2015.Prinsip Dan teknik
konseling. RSUP